Senin, 29 April 2013

Makna Dari Peribahasa

Walaupun makna dari peribahasa demikian tinggi, tetapi tidak begitu diketahui asal usulnya, siapa yang pertama kali mengucapkan peribahasa tersebut. Untuk memahami makna pribahasa yang belum biasa didengar kadang juga tidak gampang, karena makna pribahasa bisa samar dan tersembunyi. Justru di situlah letak keunikan peribahasa dibandingkan dengan kalimat biasa. Semoga ulasan singkat liputan informasi mengenai makna peribahasa berikut ini dapat semakin mendorong penggunaan peribahasa dalam kita berkomunikasi sehari-hari.

Peribahasa.JPG


1. Pepatah

Pepatah adalah peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran.


Contoh:


Hidup berakal mati beriman.

(Hendaknya kita berpanjang akal dalam mengerjakan sesuatu).


Hancur badan di kandung tanah, budi baik dikenang juga.

(Kebaikan seseorang akan selalu dikenang selama-lamanya).

Pepatah memiliki makna pribahasa yang sangat luhur, sebagiannya bisa terkesan sakral. Ajaran yang terkandung di dalamnya mencerminkan filosofi budaya tertentu, sehingga sering kita jumpai pepatah sebagai bagian dari adat suatu masyarakat. Seperti halnya pepatah Sunda, pepatah Jawa, pepatah Madura, dan lain sebagainya. Demikian juga masing-masing negara punya pepatah yang khas, sehingga kita tahu ada pepatah Inggris, ada pepatah Belanda, pepatah Cina, dan lain-lain.


Pepatah lebih tepat disebut sebagai ajaran nenek moyang yang dituturkan secara turun-temurun. Setiap adat mewarisi pepatah dari para leluhur sebagai wejangan untuk penuntun hidup yang baik dan bijak. Masyarakat yang masih kuat memegang adat, biasanya menjadikan pepatah ini sebagai pedoman hidup. Tentu ini suatu khasanah budaya yang agung, dan sangat penting untuk dilestarikan. Dengan semakin sering diucapkan atau ditulis, digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan misi, maka pepatah tidak akan patah oleh perkembangan jaman.

Terlebih lagi bila dipegang teguh makna pribahasanya. Masyarakat yang mengamalkan ajaran yang luhur itu sama dengan melestarikannya dengan baik. Karena bagaimanapun setiap pesan akan berarti kalau pesan itu diikuti. Pesan itu akan bernyawa dan terus hidup apabila masyarakat memberinya nyawa dengan perbuatannya.

2. Perumpamaan

Perumpamaan adalah peribahasa yang berupa perbandingan, biasanya menggunakan kata seperti, ibarat, bagai, bak, laksana, dan umpama.


Contoh:


Bagai itik pulang petang.

(Pekerjaan yang dikerjakan dengan santai-santai).


Ibarat seekor balam, mata terlepas badan terkurung.

(Seseorang yang dipinggit; hidupnya selalu diawasi).

Perhatikan makna peribahasa ini, begitu tersamar dengan perumpamaan yang terasa indah. Makna peribahasa seperti ini membuat pesan yang disampaikan menjadi lebih terkesan. Karena sifatnya yang tidak terang-terangan, maka menjadi unik dan tidak membosankan. Orang pun dapat menangkap makna peribahasa yang berbeda dari jenis perumpamaan seperti ini.

Dengan menyembunyikan makna peribahasa di balik perumpamaan, maka hal baiknya, orang tidak merasa tersinggung. Apabila kata-kata yang akan disampaikan bersifat kritikan yang tajam sekalipun, tetap terasa lembut. Perumpamaan seperti ini banyak sekali kita dapati dalam budaya tutur masyarakat kita, sehingga hampir setiap suku mempunyai peribahasa jenis perumpamaan seperti ini. Dan masing-masing khas dan unik, menjadi cerminan falsafah masing-masing suku.


3. Pameo

Pameo adalah peribahasa yang dijadikan semboyan. Makna peribahasa seperti ini biasanya tidak teralalu panjang, tetapi penuh energi.


Contoh:


Esa hilang, dua terbilang.

Sekali di udara, tetap di udara.

Pameo sering berisi semangat dan harapan untuk memantapkan keyakinan. Banyak juga kata-kata mutiara orang bijak yang menjadi pameo. Sebuah kalimat unik yang memiliki daya yang tinggi dapat memberi inspirasi dan dorongan yang kuat. Terlebih apabila diucapkan oleh para tokoh yang karismatik, sentuhannya sangat terasa.


Sepertihalnya pameo “hidup atau mati” yang mengelorakan semangat juang melawan penjajah. Dan tokoh-tokoh kita di jaman itu sering menggunakan semboyan-semboyan yang mengelorakan penuh dengan kekuatan jiwa. Bukan sekedar pencitraan seperti yang terjadi sekarang, semboyan apapun yang dibuat, malah kemudian menjadi bahan lecehan.

Keindahan Yang Hilang

Dalam konteks percakapan saat ini, peribahasa sudah jarang digunakan. Padahal, kandungan makna peribahasa sangat dalam. Dengan menggunakan bahasa kias, kritik atau saran yang disampaikan akan dapat diterima oleh lawan bicara. Bahkan, peribahasa dapat memberi gambaran kepada kita cara santun berbahasa.


Berikut beberapa peribahasa yang masih tersimpan dalam buku-buku peribahasa, namun sudah sangat jarang kita jumpai dalam percakapan sehari. Mari kita resapi makna peribahasa berikut ini, dan kita rasakan betapa indahnya cara pengungkapannya. Berikut bebrapa peribahasa dan maknanya yang dapat digunakan dalam konteks pembicaraan.

Seperti embun di ujung rumput. Artinya, kasih sayang atau cinta yang belum mendalam dan belum tetap.
Sungguh di mata sudah luput, namun di hati takkan hilang. Artinya, meskipun berjauhan, karena sangat mencintai tetap masih terukir di hati dan tidak dapat dilupakan.
Kalau ada emas di pinggang, semua jalan menjadi lapang. Artinya, kalau cukup sarana dan biaya segala pekerjaan akan menjadi mudah dan lancar.
Mengharap hujan dari langit, air di tempayan ditumpahkan. Artinya, mengharapkan keuntungan yang lebih besar, tetapi belum pasti, keuntungan kecil yang sudah di hadapan mata dilepaskan.
Kalau hidup tidak berilmu, duduk tegak kemari canggung. Artinya, kalau orang tidak berilmu, ia akan mendapatkan banyak kesulitan dalam hidupnya karena setiap akan mengerjakan sesuatu selalu diliputi perasaan takut dan ragu-ragu.
Duduk seorang bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Artinya, memecahkan masalah sendiri tentu akan lebih sulit, tetapi jika dilakukan dengan bermusyawarah kita akan cepat menemukan solusinya.
Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Artinya, tidak mempunyai daya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan; tidak kesampaian.
Umpama buah kepayang, dimakan mabuk dibuang sayang. Artinya, perihal sesutau yang disayang tetapi merusak, hendak dibuang sayang karena kita menyenanginya.
Telah kusut ujung dengan pangkal, karena salah memulai. Artinya, karena kesalahan memulai, suatu pekerjaan menjadi tidak karuan atau kacau.
Biar lambat asal selamat, takkan lari gunung dikejar. Artinya, setiap pekerjaan tidak usah terburu-buru, yang penting berhasil.


Peribahasa Bukan Perih Bahasa

Bahasa menunjukkan bangsa, begitu pepatah yang masih kita hafal. Bukan berarti orang yang berbahasa Ingris adalah orang Inggris, orang yang berbahasa Jawa adalah orang jawa, tetapi suatu bangsa dapat dilihat karakternya dari bahasa yang digunakan. Demikin juga misalnya untuk menilai perseorangan, seseorang dapat dinilai dari tutur katanya. Mereka yang suka berkata kasar, tabiatnya juga kasar. Mereka yang lemah lembut tutur bahasanya, menunjukkan orang yang berbudi.


Mengapa peribahasa sekarang ini sudah luntur dari tutur kata kita, karena keadaan kita sekarang ini tidak lagi sama dengan orang-orang di jaman dulu. Orang sekarang ini, diomongi secara kasar saja kadang masih belum mengerti, apalagi dengan sindiran yang halus. Makna peribahasa sudah berganti menjadi “perih bahasa”, bukan lagi keindahan dan kalimat yang santun.


Cara kita berkomunikasi sudah tidak lagi mengindahkan unsur perasaan. Makna peribahasa yang disembunyikan dulu itu, sudah berganti dengan makna yang telanjang bulat. Bahasa fulgar lebih disuka, daripada yang berbelit-belit. Padahal keindahan yang santun itu bukan berbelit-belit, tetapi untuk mendalamkan makna yang disampaikan. Sedangkan cara sekarang untuk menegaskan makna ya berteriak atau membentak.


Sinetron yang setiap jam tayang hampir di semua stasiun televisi juga mencontohkan gaya komunikasi yang seperti itu. Di rumah, di pasar, di sekolah pun hampir tiada berbeda. Para pejabat dan plitisi lebih-lebih lagi, mereka mempertontonkan cara komunikasi yang kasar itu di setiap momen penting. Jadi sudah menjadi kebiasaan kita berbicara tanpa rasa.

Yang dulu peribahasa, sekarang menjadi perih bahasa. Semakin sering kita mengikuti cara-cara berbicara yang mengabaikan perasaan dan keindahan, perih rasanya. Makna peribahasa sudah semakin tidak dikenal oleh generasi sekarang. Padahal rasa adalah bagian tak terpisahkan dari manusia. Kesantunan dan budi pekerti luhur adalah ciri bangsa Indonesia.

Makna Dari Peribahasa Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *