Beragam informasi mengenai Suku serta nama suku di indonesia. Dan untuk yang satu ini kita coba menguak lebih jauh lagi tentang Suku Bima, yang dimulai dari tempat tinggal, kehidupan, sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, sistem pendidikan, rumah adat, sampai dengan pakaian khas dari suku Bima.
Suku Bima yang dikenal dengan julukan Dou Mbojo ini menghuni dataran rendah, wilayah kabupaten Bima, Dongo, dan Sangiang, Provinsi Nusa Tenggara Barat(NTB). Hidup di tengah lingkungan yang beragam, di kepulauan NTB. Suku Bima memiliki hubungan dengan Suku Sasak yang tinggal berdekatan di Propinsi NTB.
Sejarahnya bisa ditelusuri semenjak zaman majapahit, nama Bima sendiri memang tokoh Mahabharata kepercayaan Hindu. Meskipun dalam kenyataan, mayoritas masyarakat Bima menganut agama Islam, dan dikenal sebagai suku yang taat akan amalan Islam di kepulauan Indonesia Tenggara.
Tempat Tinggal Suku Bima
Suku Bima taua disebut juga Dou Mbojo merupakan suku yang terdapat di Kota Bima dan Kabupaten Bima. Bila dilihat dari populasinya, masyarakat Bima diperkirakan lebih dari 500 orang.
Masyarakat Bima bermukim di daerah dataran rendah yang terletak di dalam wilayah Kabupaten Bima, Sangiang, dan Dongo. Seperti yang dijelaskan di atas, kondisi pemukiman masyarakat Bima tidak sama, sebelah utara tanahnya subur, sedangkan sebelah selatan tanah gundul dan tidak subur.
Masyarakat Bima kebanyakan bermukim di daerah dekat pesisir pantai. Masyarakat Bima terkadang disebut sebagai Suku Oma. Kata Oma bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah berpindah-pindah. Sebutan Oma rasanya cocok untuk masyarakat Bima, karena kebiasan hidup yang suka berpindah-pindah dari satu tempatb ke tempat lain.
Kehidupan Masyarakat Bima
Suku Bima masih memiliki hubungan kerabat dengan Suku Sasak yang tinggal di Pulau Lombok, Provinsi Nusa tenggara Barat. Dalam kesehariannya, masyarakat Bima menggunakan bahasa Bima untuk berkomunikasi. Bahasa Bima juga dikenal sebagai bahasa Nggahi Mbojo. Dalam bahasa Bima terdapat beberapa dialek, yaitu dialek Sangiang, Bima, dan Bima Dongo. Ada juga yang menggangap bahasa Bima sebagai cabang dari rumpun bahasa Malayo-polunesian. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kesamaan kosakata di antara kedua bahasa tersebut.
Dalam cerita sejarah rakyat masyarakat Bima, dahulu Suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah. Pemimpin-pemimpin tersebut disebut dengan Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, yaitu Bima melarikan diri ke Bima. Bima melarikan diri melalui jalur selatan, supaya tidak ketahuan oleh para pemberontak. Kedatangannya mendapat sambutan sangat baik, bahkan Bima langsung diangkat oleh para Ncuhi (pemimpin) sebagai Raja Bima yang pertama.
Meskipun dipilih menjadi seorang raja, Bima memilih untuk kembali ke Jawa. Namun Bima memutuskan untuk mengangangkat sang anak menggantikan dirinya sebagai seorang raja. Kemudian, Bima menyuruh dua anak lainnya untuk memerintah di Kerjaan Bima. Oleh karena itu, tidak heran jika bahasa halus bima yang terkadang digunakan masyarakat Bima mirip dengan bahasa Jawa kuno.
Dahulu, dalam bidang pertanian masyarakat Bima menjadi salah satu anggota dari segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itulah, hubungan Makassar dan Bima bisa dibilang cukup erat. Kedekatan tersebut dikarenakan pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan tersebut saling menikahkan putra dan putrid kerjaannya masing-masing.
Masyarakat Bima terkenal dengan kudanya yang kecil namun memiliki kekuatan yang besar. Sejaka abad ke-14, kuda Bima telah dibawa ke Pulau Jawa. Pada 1920, daerah Bima telah berkembang menjadi sebuah tempat pengembangbiakan kuda.
Perkampungan masyarakat Bima disebut dengan Kampe atau Kampo yang dipimpin oleh kepala desa (disebut dengan Ncuhi, Ompu, atau Gelarang). Dalam menjalankan perannya, kepalam desa dibantu oleh golongan kerabat yang tua dan dihormati. Kepemimpinan yang berjalan akan diwariskan secara turun temurun di antara keturunan nenek moyang pendiri desa.
Sistem Kepercayaan
Masyarakat Bima menganut kepercayaan asli Pare no bongi, yaoti. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bima merupakan kepercayaan yang berlandaskan nenek nmoyangnya. Meskipun begitu, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, pemikiran masyarakat Bima semakin terbuka dalam segala hal, termasuk agama. Saat ini sebagian besar masyarakat Bima menganut kepercayaan agama Islam. Sebagan kecil masyarakat Bima juga ada yang memilih menganut agama Kristen.
Walau masyarakat Bima sudah mengaut agama Islam, tapi kepercayaan akan hal-hal gaib dan roh halus juga masih dipertahankan. Masyarakat Bima memercayai akan adanya Batara gangga. Batara Gangga merupakan seorang dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga dianggap sebagai penguasa kehidupan. Selain itu, masyarakat Bima juga memercayai adanya Batara Guru, Idadari Jeneng, Idadari Sakti, roh jin, dan roh bake yang sangat berkuasa dalam mendatangkan penyakit. Roh-roh tersebut tinggal di pepohonan gunung.
Masyarakat Bima juga menganggap sebatang pohon yang terdapat di Kalate sebagai pohon keramat. Pohon ini dianggap keramat, karena dianggap sebagai tempat tinggal para dewa dan dewi.
Disamping kepercayaan akan mahluk-mahluk halus, dalam kehidupan masyarakat Bima juag masih terdapat praktek Dukun. Dukun dipercaya bisa menyembuhkan dan mengobati segala penyakit yang ada.
Sistem Mata Pencaharian
Bila dilihat dari segi mata pencaharian, masyarakat Bima sebagian besar bekerja dalam bidang pertanian. Masyarakat Bima mengelola padi di saeah dan menanam berbagai tanaman di ladang, selain itu, masyarakat Bima juga ada yang memelihara hewan, seperti kuda.
Kegiatan lain yang dilakukan masyarakat Bima dalah berburu. Aktivitas berburu dilakukan di hutan sekitar pemukiman masyarakat Bima. Semua kegiatan tersebut dilakukan utnuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sistem Pendidikan
Dulu, pada awalnya berdiri sebuah sekolah di pemukiman masyarakat Bima. Sekolah tersebut berdiri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bima akan pendirikan. Namun sayangnya, saat itu masyarakat Bima mengganggap kehadiran sekolah sebagai perusak adat. Untungnya, saat ini masyarakat Bima sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi amasa depan kelak. Bahkan sekarang, banyak anak-anak Bima yang disekolahkan mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Pemikiran masyarakat Bima memang sudah lebih terbuka dibandingkan dengan zaman dulu. Saat ini, masyarakat Bima cenderung beranggapan segala hal yang berasal dari luar itu baik. Apalagi bila berkaitan dengan kebudayaan dan teknologi. Perubahan cara hidup dan pemikiran masyarakat Bima berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern.
Rumah Adat Bima
Masyarakat Bima memiliki rumah adat yang bisa dibilang cukup unik. Keunikan rumah tradisional masyarakat Bima tidak kalah dengan rumah adat Suku Toraja. Rumah adat masyarakat Bima diesbut dengan Uma Lengge. Uma Lengge memiliki struktur rumah yang terbuat dari kayu. Keseluruhan elemennya saling berkaitan satu sama lain, sehingga menjadi sebuah kesatuan. Batu alam dipergunakan untuk menumpu tiang. Dengan menggunakan kontruksi bangunan seperti ini, rumah akan sangat kokoh (tahan gempa dan angin).
Pakaian Khas
Perempuan Suku Bima memiliki pakaian khas. Pakaian khas tersebut semacam sarung yang digunakan sebagai bawahan. Namun ternyata, ada juga perempuan dari Suku Bima yang masih menggunakan dua buah sarung, disebut rimpu. Rimpu merupakan cara perempuan Bima untuk menutup aurat bagian tas dengan sarung. Dengan demikian, fisik yang terlihat dari perempuan Bima hanya mata atau wajahnya. Sementara itu, ada juga yang ahnay kelihatan mata, disebut dengan rimpu mpida.
Untuk para perempuan biasanya mempunyai aktivitas, yaitu membuat kerajinan anyaman dari daun lontar dan rotan. Selain menganyam, perempuan Bima juga ahli dalam membuat kerajinan tenun. Bahkan hasil kerajinan tenun perempuan Bima tersebut sudah terkenal di Indonesia.
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, melalui liputan informasi selanjutnya akan kita telusuri bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut.
0 comments:
Posting Komentar